Tingginya
Angka Golput: Momok yang Lebih Menakutkan Dibandingkan Politik Uang
Bangsa Indonesia pasti berharap pemilu 2014 mampu menjadi
awal demokrasi yang bersih. Untuk menciptakan harapan besar itu, dibutuhkan
kerjasama secara agregat di antara bangsa Indonesia. Diperlukannya jiwa
nasionalisme yang tinggi untuk mau peduli akan eksistensi dan keberlangsungan
proses politik yang ada.
Namun, hal ini bertentangan dengan karakter bangsa Indonesia
dewasa ini. Jiwa nasionalisme yang mulai luntur dan sikap tidak acuh terus
ditunjukkan baik oleh para politikus maupun sebagian besar rakyat Indonesia.
Diantaranya adalah semakin maraknya sistem politik uang dan tingginya
angka golput.
Sistem politik uang adalah serangkaian usaha ilegal yang
dilakukan oleh para politikus dalam meraup suara dengan menggunakan kekayaan
yang mereka miliki. Misalnya, dengan memberikan uang ataupun segala sesuatu
yang bernilai ekonomis. Sebagai balas jasanya, mereka yang berperan sebagai
reseptor uang tersebut didorong untuk memberikan suara mereka. Metode ini
sering ditujukan kepada warga yang berpenghasilan rendah maupun menengah.
Sistem politik uang tersebut tentu menodai demokrasi
Indonesia dan akan menghasilkan produk-produk demokrasi yang cacat saat
memerintah. Hal ini jelas terlihat dari banyaknya birokrat-birokrat yang
terjerat kasus korupsi.
Angka korupsi terus meningkat dan merugikan negara.
Berdasarkan Laporan Tahunan KPK 2013, terdapat peningkatan penanganan perkara
korupsi. Tahun 2013 terdapat 70 perkara yang ditangani, meningkat dua kali
lipat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 49 perkara.
Peneliti Divisi ICW, Tama S. Langkun, mengatakan tahun 2010
negara mengalami kerugian akibat korupsi sebesar Rp 2,1 triliun dan awal
Januari sampai Desember 2013 sampai dikisaran Rp 7,4 triliun. Tingginya tingkat
korupsi terus mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Bukan hanya itu, demokrasi yang kotor juga menghasilkan
wakil rakyat yang tidak bertanggung jawab. Terlihat dari banyaknya wakil rakyat
yang absen di setiap persidangan dan semakin meningkat menjelang pemilu 2014.
Faktanya, 90% anggota DPR saat ini kembali mencalonkan diri di Pemilu 2014.
Artinya, dari 560 anggota DPR, 501 di antaranya kembali mencalonkan diri
menjadi anggota DPR di periode 2014-2019. Mereka yang menjadi caleg incumbent
memanfaatkan waktu menjelang pemilu untuk melakukan kampanye melalui politik
pencitraan ke daerah-daerah. Lebih sadisnya lagi, baru 20 dari 77 RUU dalam
program legislasi nasional yang rampung selama masa sidang 2013.
Disamping budaya politik uang, harapan tercapainya demokrasi
yang utuh pun semakin jauh akibat terus meningkatnya angka golput. Banyak
alasan yang dilontarkan masyarakat untuk golput. Mereka mengatakan tidak ada
pribadi yang pantas untuk memimpin, siapapun pemimpinnya pasti tidak akan ada
perubahan dan akan tetap korupsi.
Dibandingkan dengan politik uang, angka golput yang semakin
tinggi adalah momok yang lebih menakutkan. Hal ini terlihat dari semakin tidak
acuhnya masyarakat terhadap pemimpin mereka kelak. Menurut Pusat Studi dan
Kawasan UGM persentase golput tahun 2004 sebesar 23,34% meningkat menjadi 39,1%
tahun 2009. Bahkan, Lembaga Survei Indonesia memprediksi persentase golput akan
terus bertambah dan menembus angka 50%.
Di sisi lain, politik uang dinilai tidak lagi begitu efektif
mempengaruhi pilihan rakyat. Karena rakyat semakin cerdas memanfaatkan peluang
ekonomi mereka. Mereka menganggap pemilu adalah ajang mendapatkan uang dengan
cuma-cuma. Mereka menerima uang dari siapa saja tetapi belum tentu memilih,
apalagi memilih yang memberikan uang.
Oleh karena itu, pemerintah harus mampu mengembalikan
kepercayaan masyarakat akan manfaat sejatinya demokrasi. Diantaranya, dengan
menurunkan tingkat korupsi dan melahirkan wakil rakyat yang berkualitas dan pro
rakyat.
Meruntuhkan pentas korupsi dapat dilakukan dengan menekan jumlah
dana kampanye dan menyeleksi kualitas calon wakil rakyat. Karena dana kampanye
faktanya cenderung melebihi gaji mereka setelah menduduki jabatan nantinya.
Jadi, untuk menutupi itu semua mereka tidak segan untuk mencuri uang rakyat dan
menjual beli wewenang.
KPU dengan wewenangnya dapat menciptakan undang-undang yang
menentukan jumlah dana kampanye maksimal dengan memperhatikan segala aspek.
Misalnya dengan memperhatikan apakah calon DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota,
atau DPR RI. Tentu terdapat perbedaan luas wilayah kampanye dan cakupan
kampanye di berbagai tingkat pencalonan yang mempengaruhi biaya kampanye.
Dengan mempertimbangkan proporsi luas wilayah
kampanye, dapat diestimasi jumlah alat peraga yang dibutuhkan, misalnya jumlah
bendera parpol dengan berbagai ukuran yang dapat dipasang. Hal ini juga
akan menciptakan kampanye yang ramah terhadap lingkungan. Tidak seperti fakta
yang ada, dimana setiap bendera parpol di pasang secara berlebihan di banyak
tempat yang bahkan merusak estetika dan kesehatan lingkungan. Misalnya bendera
parpol yang dipasang dengan ukuran tertentu dengan jarak yang berdekatan dan
dalam jumlah yang banyak. Hal ini tentu berlebihan, dan melewati makna dari
kampanye itu sendiri.
KPU memang telah menetapkan UU yang mengatur tata cara
berkampanye. Misalnya, UU No. 8 Tahun 2012. Pasal 102 ayat 2 menyatakan bahwa pemasangan
alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan,
dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Namun, undang-undang yang ada belum memiliki restriksi
yang jelas kapan suatu kampanye dapat dikatakan merusak lingkungan, sehingga
belum memiliki kepastian hukum yang kuat.
Lembaga penyelenggara Pemilu tersebut juga dapat menggenjot
lagi transparansi dan meminimalkan biaya kampanye dengan menentukan media massa
cetak maupun elektronik apa saja yang dapat digunakan. Bahkan, KPU dapat
bekerjasama dengan pengusaha media massa tertentu yang telah ditetapkan sebagai
media kampanye, sehingga mempermudah KPU dalam melakukan pengawalan
administrasi parpol.
Disisi lain, KPU dapat menjadi media penyedia alat peraga
kampanye. Dimana KPU dengan menggunakan dana kampanye masing-masing partai
politik yang menyediakan alat peraga kampanye. KPU juga harus memantau terus
pemasangan alat peraga kampanye di area yang telah ditentukan sesuai dengan
jumlah alat peraga yang telah ditetapkan dan disediakan melalui pemanfaatan
fungsi dari Bawaslu.
Dengan wewenang tersebut, KPU dapat memelihara kesehatan dan
estetika lingkungan, menciptakan transparansi kampanye, dan bahkan menekan
biaya kampanye. Peraturan yang ketat dan UU yang pasti diharapakan mampu
menciptakan demokrasi yang utuh dan bersih, sehingga melahirkan dewan rakyat
yang berkualitas, berintegritas, professional, dan amanah. Hal ini tentu akan
menigkatkan kepercayaan masyarakat untuk tidak lagi golput di pemilu
berikutnya.
http://writing-contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/379/215013/tingginya-angka-golput-momok-yang-lebih-menakutkan-dibandingkan-politik-uang
Oleh: Jeffry Naek Sitorus,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar