Translate

Selasa, 20 Mei 2014

Tingginya Angka Golput



Tingginya Angka Golput: Momok yang Lebih Menakutkan Dibandingkan Politik Uang
Bangsa Indonesia pasti berharap pemilu 2014 mampu menjadi awal demokrasi yang bersih. Untuk menciptakan harapan besar itu, dibutuhkan kerjasama secara agregat di antara bangsa Indonesia. Diperlukannya jiwa nasionalisme yang tinggi untuk mau peduli akan eksistensi dan keberlangsungan proses politik yang ada.
Namun, hal ini bertentangan dengan karakter bangsa Indonesia dewasa ini. Jiwa nasionalisme yang mulai luntur dan sikap tidak acuh terus ditunjukkan baik oleh para politikus maupun sebagian besar rakyat Indonesia. Diantaranya  adalah semakin maraknya sistem politik uang dan tingginya angka golput.
Sistem politik uang adalah serangkaian usaha ilegal yang dilakukan oleh para politikus dalam meraup suara dengan menggunakan kekayaan yang mereka miliki. Misalnya, dengan memberikan uang ataupun segala sesuatu yang bernilai ekonomis. Sebagai balas jasanya, mereka yang berperan sebagai reseptor uang tersebut didorong untuk memberikan suara mereka. Metode ini sering ditujukan kepada warga yang berpenghasilan rendah maupun menengah.
Sistem politik uang tersebut tentu menodai demokrasi Indonesia dan akan menghasilkan produk-produk demokrasi yang cacat saat memerintah. Hal ini jelas terlihat dari banyaknya birokrat-birokrat yang terjerat kasus korupsi.
Angka korupsi terus meningkat dan merugikan negara. Berdasarkan Laporan Tahunan KPK 2013, terdapat peningkatan penanganan perkara korupsi. Tahun 2013 terdapat 70 perkara yang ditangani, meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 49 perkara.
Peneliti Divisi ICW, Tama S. Langkun, mengatakan tahun 2010 negara mengalami kerugian akibat korupsi sebesar Rp 2,1 triliun dan  awal Januari sampai Desember 2013 sampai dikisaran Rp 7,4 triliun. Tingginya tingkat korupsi terus mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Bukan hanya itu, demokrasi yang kotor juga menghasilkan wakil rakyat yang tidak bertanggung jawab. Terlihat dari banyaknya wakil rakyat yang absen di setiap persidangan dan semakin meningkat menjelang pemilu 2014. Faktanya, 90% anggota DPR saat ini kembali mencalonkan diri di Pemilu 2014. Artinya, dari 560 anggota DPR, 501 di antaranya kembali mencalonkan diri menjadi anggota DPR di periode 2014-2019. Mereka yang menjadi caleg incumbent memanfaatkan waktu menjelang pemilu untuk melakukan kampanye melalui politik pencitraan ke daerah-daerah. Lebih sadisnya lagi, baru 20 dari 77 RUU dalam program legislasi nasional yang rampung selama masa sidang 2013.
Disamping budaya politik uang, harapan tercapainya demokrasi yang utuh pun semakin jauh akibat terus meningkatnya angka golput. Banyak alasan yang dilontarkan masyarakat untuk golput. Mereka mengatakan tidak ada pribadi yang pantas untuk memimpin, siapapun pemimpinnya pasti tidak akan ada perubahan dan akan tetap korupsi.
Dibandingkan dengan politik uang, angka golput yang semakin tinggi adalah momok yang lebih menakutkan. Hal ini terlihat dari semakin tidak acuhnya masyarakat terhadap pemimpin mereka kelak. Menurut Pusat Studi dan Kawasan UGM persentase golput tahun 2004 sebesar 23,34% meningkat menjadi 39,1% tahun 2009. Bahkan, Lembaga Survei Indonesia memprediksi persentase golput akan terus bertambah dan menembus angka 50%.
Di sisi lain, politik uang dinilai tidak lagi begitu efektif mempengaruhi pilihan rakyat. Karena rakyat semakin cerdas memanfaatkan peluang ekonomi mereka. Mereka menganggap pemilu adalah ajang mendapatkan uang dengan cuma-cuma. Mereka menerima uang dari siapa saja tetapi belum tentu memilih, apalagi memilih yang memberikan uang.
Oleh karena itu, pemerintah harus mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat akan manfaat sejatinya demokrasi. Diantaranya, dengan menurunkan tingkat korupsi dan melahirkan wakil rakyat yang berkualitas dan pro rakyat.
Meruntuhkan pentas korupsi dapat dilakukan dengan menekan jumlah dana kampanye dan menyeleksi kualitas calon wakil rakyat. Karena dana kampanye faktanya cenderung melebihi gaji mereka setelah menduduki jabatan nantinya. Jadi, untuk menutupi itu semua mereka tidak segan untuk mencuri uang rakyat dan menjual beli wewenang.
KPU dengan wewenangnya dapat menciptakan undang-undang yang menentukan jumlah dana kampanye maksimal dengan memperhatikan segala aspek. Misalnya dengan memperhatikan apakah calon DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, atau DPR RI. Tentu terdapat perbedaan luas wilayah kampanye dan cakupan kampanye di berbagai tingkat pencalonan yang mempengaruhi biaya kampanye.
Dengan mempertimbangkan proporsi luas  wilayah kampanye, dapat diestimasi jumlah alat peraga yang dibutuhkan, misalnya jumlah bendera parpol dengan berbagai ukuran  yang dapat dipasang. Hal ini juga akan menciptakan kampanye yang ramah terhadap lingkungan. Tidak seperti fakta yang ada, dimana setiap bendera parpol di pasang secara berlebihan di banyak tempat yang bahkan merusak estetika dan kesehatan lingkungan. Misalnya bendera parpol yang dipasang dengan ukuran tertentu dengan jarak yang berdekatan dan dalam jumlah yang banyak. Hal ini tentu berlebihan, dan melewati makna dari kampanye itu sendiri.
KPU memang telah menetapkan UU yang mengatur tata cara berkampanye. Misalnya, UU No. 8 Tahun 2012. Pasal 102 ayat 2 menyatakan bahwa pemasangan alat peraga kampanye pemilu oleh pelaksana kampanye pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, undang-undang yang ada belum memiliki restriksi yang jelas kapan suatu kampanye dapat dikatakan merusak lingkungan, sehingga belum memiliki kepastian hukum yang kuat.
Lembaga penyelenggara Pemilu tersebut juga dapat menggenjot lagi transparansi dan meminimalkan biaya kampanye dengan menentukan media massa cetak maupun elektronik apa saja yang dapat digunakan. Bahkan, KPU dapat bekerjasama dengan pengusaha media massa tertentu yang telah ditetapkan sebagai media kampanye, sehingga mempermudah KPU dalam melakukan pengawalan administrasi parpol.
Disisi lain, KPU dapat menjadi media penyedia alat peraga kampanye. Dimana KPU dengan menggunakan dana kampanye masing-masing partai politik yang menyediakan alat peraga kampanye. KPU juga harus memantau terus pemasangan alat peraga kampanye di area yang telah ditentukan sesuai dengan jumlah alat peraga yang telah ditetapkan dan disediakan melalui pemanfaatan fungsi dari Bawaslu.
Dengan wewenang tersebut, KPU dapat memelihara kesehatan dan estetika lingkungan, menciptakan transparansi kampanye, dan bahkan menekan biaya kampanye. Peraturan yang ketat dan UU yang pasti diharapakan mampu  menciptakan demokrasi yang utuh dan bersih, sehingga melahirkan dewan rakyat yang berkualitas, berintegritas, professional, dan amanah. Hal ini tentu akan menigkatkan kepercayaan masyarakat untuk tidak lagi golput di pemilu berikutnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar